Bunda, setuju kan! Kalau tidak ada yang benar-benar siap menghadapi tangisan melengking, teriakan tanpa henti, atau tubuh kecil yang berguling di lantai karena sesuatu yang tampak sepele, seperti biskuit yang patah atau mainan yang hilang. Namun bagi para orang tua, momen seperti itu adalah bagian nyata dari perjalanan membesarkan anak. Tantrum sering datang tanpa peringatan, di waktu dan tempat yang tak terduga, membuat kesabaran diuji sampai batasnya.
Meski terasa melelahkan, di balik setiap ledakan emosi anak, sebenarnya tersimpan kesempatan berharga bagi orang tua: kesempatan untuk belajar sabar, memahami dunia batin si kecil, dan menumbuhkan kedekatan emosional yang lebih dalam. Sebab, tantrum bukan hanya tentang anak yang belum bisa mengendalikan diri, tetapi juga tentang kita, orang tua, yang sedang belajar mengendalikan diri di tengah badai kecil bernama cinta.
Apa Itu Tantrum dan Mengapa Terjadi?
Banyak Bunda yang mungkin belum memahami tentang tantrum, dan berikut ini penjelasannya. Tantrum adalah ledakan emosi yang sering muncul pada anak usia 1–5 tahun. Wujudnya bisa berupa menangis kencang, menjerit, menolak, atau bahkan berguling di lantai. Meski terlihat “berlebihan”, tantrum sebenarnya adalah cara anak mengekspresikan perasaan yang belum mampu ia kendalikan dengan kata-kata.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan anak, tantrum terjadi karena otak bagian depan (prefrontal cortex) yang mengatur logika dan pengendalian diri belum berkembang sempurna. Akibatnya, ketika anak merasa marah, kecewa, atau lelah, ia menyalurkan emosi melalui tubuh dan tangisan.
Jadi, tantrum bukan tanda anak manja atau nakal, melainkan tanda bahwa anak sedang belajar mengatur emosinya.
Mengapa Tantrum Seringkali Membuat Orang Tua Kehilangan Sabar?
Setiap orang tua pasti pernah merasa “kehilangan kendali” saat menghadapi tantrum anak, apalagi jika terjadi di tempat umum. Teriakan anak, tatapan orang lain, dan rasa malu sering membuat emosi ikut tersulut.
Padahal, reaksi marah orang tua biasanya bukan karena perilaku anak semata, melainkan karena munculnya pikiran seperti: merasa gagal mendidik anak, orang lain pasti menilai tidak mampu, atau bahkan muncul pertanyaan mengapa anak saya berbeda dengan anak lain yang bisa terlihat anteng.
Sejujurnya, pemikiran seperti itu sangat manusiawi, tapi justru menjadi momen penting bagi orang tua untuk belajar sabar. Tantrum bukan ujian untuk anak saja, melainkan juga ujian bagi orang tua untuk tetap tenang dan memahami bahwa ini bagian dari proses tumbuh bersama.
Tantrum Sebagai Cermin Emosi Orang Tua
Bunda, dari beberapa literatur yang saya baca, tantrum sebenarnya seperti cermin kecil yang memantulkan bagaimana orang tua, khususnya Bunda bereaksi terhadap stres dan emosi. Apakah Bunda akan langsung marah? Atau berusaha menenangkan diri terlebih dahulu lalu mendekati anak dengan lembut?
![]() |
| Foto: Canva.com |
Cara Bunda bereaksi akan menjadi pelajaran pertama bagi anak tentang bagaimana mengelola perasaannya. Percayalah Bunda, anak belajar bukan dari kata-kata, tapi dari contoh nyata. Ketika orang tua mampu tetap tenang di tengah amarah anak, pesan yang tersampaikan adalah "tidak apa-apa merasa marah, tapi saya tetap bisa menenangkan diri."
Dengan begitu, setiap tantrum bisa menjadi sarana latihan kesabaran, bagi orang tua dan juga anak dalam waktu yang bersamaan.
6 Cara Menghadapi Tantrum Anak dengan Sabar
Untuk Bunda yang sedang belajar sabar, berikut panduan praktis parenting positif ketika menghadapi tantrum anak tanpa harus kehilangan kendali.
Tenangkan Diri Terlebih Dahulu
Sebelum menenangkan anak, tenangkan diri Bunda dulu. Tarik napas dalam, hitung sampai sepuluh, atau berpindah sebentar dari situasi. Anak bisa “menangkap” emosi orang tua, jika Bunda atau orang tua tegang, anak pun akan makin sulit tenang.
Tetap Dekat dan Beri Rasa Aman
Anak yang tantrum butuh merasa aman. Jangan langsung meninggalkannya. Duduk di dekatnya, pastikan ia tidak melukai diri sendiri atau orang lain. Kehadiran orang tua yang tenang sudah cukup membuat anak merasa diterima, walau tanpa banyak bicara.
Hindari Berdebat Saat Anak Menangis
Ketika anak sedang histeris, logika tidak berfungsi. Penjelasan panjang atau nasihat tidak akan didengar. Fokuslah pada ketenangan, bukan pada “membuat anak mengerti”. Setelah anak tenang, baru ajak ia bicara dengan lembut.
Validasi Perasaan Anak
Validasi berarti mengakui perasaan anak tanpa langsung menghakimi. Misalnya:
“Mama tahu kamu marah karena tidak dapat mainan.”
“Kamu kecewa ya, karena waktunya pulang.”
Kalimat seperti ini membuat anak merasa dimengerti. Ia belajar bahwa marah boleh, tapi tetap ada batas dalam mengekspresikannya.
Tunjukkan Contoh Pengelolaan Emosi
Anak meniru apa yang ia lihat. Jika Bunda menahan diri, berbicara pelan, dan tetap lembut meski sedang kesal, anak akan mempelajari hal yang sama. Jadilah “contoh hidup” bagaimana seseorang bisa marah tanpa menyakiti.
Kenali Pola dan Pemicu Tantrum
Perhatikan kapan anak paling sering tantrum, misalnya saat lapar, lelah, bosan, atau transisi kegiatan. Dengan mengenali polanya, Bunda bisa mengantisipasi dan mencegah ledakan emosi di masa depan.
Belajar Sabar Lewat Tantrum: Sebuah Proses Tumbuh Bersama
Sabar bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil latihan. Dan anak dengan segala tangis dan teriakannya adalah guru terbaik dalam pelajaran kesabaran itu. Tantrum mengajarkan:
- Bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan.
- Bahwa cinta berarti hadir, bukan selalu menuruti.
- Bahwa setiap ledakan emosi anak adalah peluang untuk menumbuhkan ketenangan dalam diri.
Dalam momen penuh tantangan itu, Bunda dan juga para orang tua belajar menahan ego, menurunkan suara, dan menatap anak dengan kasih. Karena sesungguhnya, ketika Bunda menenangkan diri, juga menenangkan dua hati: hati anak dan hati Bunda sendiri.
Kesimpulan: Tantrum Bukan Musuh, Tapi Guru Kesabaran
Tantrum anak memang menguras energi, tapi jika dilihat dari sisi positif, momen itu bisa menjadi ruang belajar sabar dan memahami emosi, baik bagi anak maupun orang tua.
Setiap tangisan, setiap teriakan, adalah bagian dari perjalanan panjang menuju kedewasaan emosional. Anak belajar mengenali dirinya, sementara Bunda belajar menjadi versi orang tua yang lebih bijak, lembut, dan kuat.
Ingatlah, tidak ada orang tua yang sempurna, tapi selalu ada kesempatan untuk tumbuh dari setiap tantrum yang terjadi.








Posting Komentar